Minggu, 19 Januari 2020

Tugas UAS Filsafat




PEMBUDAYAAN PRAKTIK BAIK SIKAP NIRKEKERASAN MELALUI PENDIDIKAN PERDAMAIAN DAN RESOLUSI KONFLIK DI SEKOLAH

Tugas Mata Kuliah Filsafat Penelitian dan Evaluasi Pendidikan



Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Marsigit, M.A.





Oleh:
M. Ikhsan Ghozali
NIM. 19701261003



PROGRAM STUDI PENELITIAN DAN EVALUASI PENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2019



Instruksi Tugas
1.        Identifikasi persoalan filsafat pada pembelajaran … di sekolah (relevan dengan PEP) – minimal 15.
2.        Kontribusi butir (1) terhadap identifikasi persoalan rencana penelitian disertasi (minimal 5 judul)
3.     Ambil satu dari butir (2), kemudian tulislah (minimal terdiri dari): Judul, Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Metodologi Penelitian




1.    Hingga saat ini, tindak-kekerasan masih kerap terjadi di tanah air. Hal ini kontradiktif dengan karakter bangsa Indonesia yang meskipun majemuk tapi dikenal ramah, saling menghargai dan menghormati, suka bergotong royong, serta menjunjung tinggi nilai-nilai moral, agama, dan kemanusiaan. Ironisnya, lembaga pendidikan, termasuk sekolah, yang diharapkan mampu menjadi media pembangunan manusia, ternyata tak lepas dari fenomena ini. Berbagai kasus kekerasan kerap terjadi di sekolah, bahkan tak sedikit yang akhirnya berujung pada ranah hukum.[1]
Padahal sekolah, sebagaimana tujuan dan fungsi pendidikan nasional, diharapkan mampu menjadi media pembangunan manusia memiliki watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dan cerdas.
Berikut ini beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi terkait dengan hal tersebut.
(1)     Maraknya kasus bullying di sekolah.
(2)     Tingginya rivalitas atau kompetisi di antara siswa.
(3)     Adanya sikap saling curiga yang berlebihan.
(4)     Kurangnya sikap saling menghargai dan saling menerima perbedaan.
(5)     Kurangnya sikap saling menerima
(6)     Kesalahan dalam mengartikan dan menyikapi konflik
(7)     Kesalahan dalam mengartikan dan menyikapi kekerasan
(8)     Rendahnya kemampuan beradaptasi.
(9)     Kurangnya perhatian terhadap aspek afektif sehingga proses humanisasi berkurang.
(10) Penerapan hukuman (terutama fisik) terhadap pelanggaran yang melebihi batas.
(11) Kedamaian dimaknai semata-mata produk .
(12) Kekerasan dimaknai semata-mata akibat atau dampak.
(13) Kesalahan persepsi mengenai hubungan.
(14) Pembelajaran mengenai konflik, kekerasan, resolusi konfik, dan nirkekerasan belum terintegrasi dan lebih cenderung bersifat teoretis.
(15) Kurangnya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
(16) Kurangnya pengalaman interaksi dan bekerja sama.
(17) Kearifan-kearifan lokal belum menjadi pertimbangan serius dalam pembelajaran.
(18) Pembelajaran tentang perdamaian cenderung dipersempit semata toleransi.
(19) Pendidikan karakter belum sepenuhnya dilaksanakan.
(20) Pendidikan karakter belum mengintegrasikan pendidikan perdamaian dan resolusi konflik di dalamnya.

2.        Rancangan judul rencana penelitian
Beberapa permasalahan yang telah diidentifikasi menunjukkan bahwasanya ada banyak permasalahan tindak-kekerasan di lembaga pendidikan dan upaya pendidikan perdamaian, baik melalui pendidikan karakter maupun pendidikan khusus, belum menunjukkan hasil yang sesuai harapan. Padahal, tujuan pendidikan nasional dan amanat dari UUD 1945 menegaskan bahwasanya perdamaian adalah hal yang hakiki dan harus diciptakan, maka perlu dilakukan berbagai upaya strategis yang relevan, salah satnya melalui penelitian Sehubungan dengan hal tersebut, dari beberapa permasalahan tersebut dapat dirumuskan beberapa judul peneitian berikut:
(1)   Pembudayaan praktik baik sikap nirkekerasan melalui pendidikan perdamaian dan resolusi konflik di sekolah.
(2)   Pengembangan skala sikap terhadap nirkekerasan.
(3)   Pendidikan perdamaian dan resolusi konflik berbasis kearifan lokal.
(4)   Integralisasi pendidikan nirkekerasan dalam pendidikan karakter.
(5)   Internalisasi sikap nirkekerasan dalam pendidikan karakter.




3.        Rancangan
Dari lima rumusan judul di atas, dalam hal ini ditetapkan satu judul yang dapat ditindaklanjuti dalam sebuah rancangan sederhana sebagai berikut:

Judul
Pembudayaan Praktik Baik Sikap Nirkekerasan Melalui Pendidikan Perdamaian dan Resolusi Konflik di Sekolah

Latar belakang
Damai adalah kondisi hidup ideal yang diharapkan oleh setiap manusia. Kondisi ini memungkinkan manusia bisa hidup dengan tenang, aman, sejahtera, bebas dari tekanan atau gangguan, dan hubungan antarsesama (pribadi/kelompok) berlangsung dengan baik.[2] Namun, keadaan semacam ini seolah utopis sebab sulit terwujud sepenuhnya, salah satu penyebabnya adalah konflik (dengan kekerasan).
Konflik merupakan hal alamiah (instrinsik) terjadi dalam dinamika sosial (Miall 2000: 7) sehingga wajar jika menjadi fenomena yang selalu hadir dalam setiap masyarakat manusia (Rozi, dkk. 2006: 5). Konflik muncul sebagai salah satu konsekuensi hidup manusia sebagai makhluk sosial yang saling berinteraksi. Dalam interaksinya, tidak jarang terjadi gesekan akibat adanya perbedaan (kepentingan, nilai, keyakinan, persepsi[3]) lalu menjadi konfik.[4]
Konflik awalnya bersifat laten, namun ia bisa menjadi manifest melalui tindakan dalam merespon gesekan tersebut. Hal ini dikarenakan masing-masing secara potensial memiliki kemampuan untuk menghambat dan secara praktis/operasional mewujudkannya (Chandra 1992: 20).
Sebagai negara yang masyarakatnya majemuk, terdiri dari sub-sub yang memiliki ikatan primordial (Chaer 2016), Indonesia merupakan negara yang rawan konflik, baik konflik sosial, ekonomi, politik, budaya, maupun agama. Sejarah pun telah mencatat berbagai peristiwa konflik, baik secara horisontal (antarmasyarakat) maupun vertikal (masyarakat dengan negara). Ketika tindakan dengan kekerasan menjadi respon terhadap konflik, maka dampak negatif yang merugikan pun muncul (jatuhnya korban jiwa, kehilangan harta, tempat tinggal, dan lain-lain).[5]
Respon dan sikap dalam menghadapi konflik dengan kekerasan sangat menentukan, sebab jika tidak, akan terjadi apa yang disebut oleh Dom Helder Camara (1909-1999) dalam Spiral of Violence, suatu tindak-kekerasan akan melahirkan tindak-kekerasan baru (Camara 2000). Hal ini tentunya menjadi kontraproduktif bagi kedamaian. Salah satu penyebab utama terjadinya konflik dengan kekerasan adalah keterbatasan pengetahuan tentang hakikat perbedaan (pikiran, identitas budaya, keyakinan, dan sebagainya) dan cara menghadapinya.[6]
Sekolah, sebagai institusi pendidikan, berperan penting dalam menanamkan nilai-nilai etis perdamaian dan nirkekerasan melalui pembelajaran praktis. Tujuannya adalah untuk membentuk kesadaran, pemahaman, dan perilaku siswa menjadi manusia yang mampu menciptakan kehidupan yang damai, sebagaimana salah satu pilar pendidikan, yakni learning how to live together in harmony. Pentingnya pendidikan perdamaian dan resolusi konflik di sekolah dikarenakan sekolah merupakan pusat pembelajaran[7] sekaligus pusat kehidupan sosial siswa, yang beragam jenis kelamin, usia, etnis, agama, tingkat ekonomi keluarga, kemampuan, dan sebagainya. Perbedaan inilah yang dinilai menjadi lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya konflik. Maka, melalui pendidikan perdamaian dan resolusi konflik, siswa memiliki kesadaran dan sikap nirkekerasan[8] dalam merespon konflik sehingga dapat tercipta kehidupan yang damai (Jones 2004; Miall 2000)
Secara global, pendidikan perdamaian merupakan kesepakatan dunia internasional yang dimotori oleh Unesco dan sudah diselenggarakan di berbagai negara, begitu pun di Indonesia. Kartadinata, dkk. (2015: 61-62) menyebut setidaknya ada empat pertimbangan atau alasan pentingnya pendidikan perdamaian dilakukan di sekolah, yakni: (1) kemajemukan bangsa Indonesia; (2) dapat menjadi media alternatif pemulihan trauma (trauma healing) akibat konflik-kekerasan yang paling efektif; (3) proses penting bagi siswa untuk mampu membangun budaya damai dan sikap nirkekerasan; (4) siswa sebagai pemuda adalah tulang punggung pembangunan bangsa. Oleh karenanya, pendidikan perdamaian mesti dilihat dari perspektif sosial dan budaya sebab pendidikan merupakan bagian dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat.
Masih menurut Kartadinata, dkk. (hlm. 69, 104-105), ada tiga aspek atau domain yang tercakup dalam pendidikan perdamaian, yakni pengetahuan, keterampilan, dan sikap, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Pelaksanaannya perlu memerhatikan: (1) tujuan; (2) materi; (3) metode dan strategi pembelajaran; (4) media pembelajaran; dan (5) evaluasi pembelajaran. Hal ini dikarenakan pendidikan perdamaian tidak hanya mengajarkan siswa untuk mampu berpikir (think) melainkan juga mampu berpikir kritis (think critically). Maka, perlu dilakukan pendekatan holistik dan partisipatoris dengan suasana dialogis dan melibatkan proses psikologis siswa (hlm. 106).
Pendidikan perdamaian tidak harus dilaksanakan secara terpisah, melainkan dapat mengintegrasikannya dalam pendidikan karater yang di dalamnya terkandung nilai-nilai pendidikan perdamaian.[9] Meski begitu, selain belum banyak sekolah yang mengintegrasikan pendidikan perdamaian dan pendidikan karakter, sekolah yang melaksanakan keduanya secara terpisah pun belum banyak. Beberapa kajian tentang kekerasan dan pendidikan perdamaian ini pernah dilakukan. Misalnya, Assegaf (2004), mengungkap tipologi kondisi dan kasus kekerasan di lembaga pendidikan, kemudian menawarkan konsep pendidikan tanpa kekerasan dalam perspektif pendidikan Islam. Daniprawiro (2009), mengulas pentingnya mendorong terciptanya pendidikan damai. Sukendar (2011), mengkaji pendidikan damai bagi anak korban konflik. Kartadinata dkk (2014), membandingkan etnopedagogik di Indonesia dengan Finlandia.
Sehubungan dengan hal tersebut, kajian ini mencoba untuk mengungkap hal-hal mendasar yang terkait dengan implementasi pendidikan perdamaian dan resolusi konflik dalam rangka membangun praktik baik sikap nirkekerasan, baik terintegrasi maupun tersendiri. Terintegrasi berarti pelaksanaannya menyatu dalam pendidikan karakter yang digalakkan pemerintah. Sedangkan tersendiri berarti pelaksanaannya terpisah. Untuk itulah, akan dilihat juga prospek terbaik dari keduanya untuk nantinya diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan dalam upaya pembudayaan sikap nirkekerasan dalam lingkungan pendidikan.

Rumusan masalah
1)   Dari berbagai upaya yang pernah dilakukan, apa kendala utama dalam mengintegrasikan pendidikan perdamaian dan resolusi konflik dalam pendidikan karakter di sekolah?
2)  Kondisi-kondisi apa saja yang dibutuhkan untuk membudayakan praktik baik sikap nirkekerasan melalui pendidikan perdamaian dan resolusi konflik di sekolah?
3)  Bagaimana strategi pengembangan pendidikan perdamaian dan resolusi konflik dalam menghadapi tantangan era power now?
  
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif-eksploratoris. Penggunaan metode dan pendekatan ini mengacu pada tujuan penelitian yang mencoba mengungkap persoalan pembudayaan sikap nirkekerasan di sekolah secara lebih intensif dan ekstensif, berdasarkan idealita dan realitanya.
Sebagaimana permasalahan penelitian, yang menjadi subjek adalah guru-guru serta pengelola SMP dan SMA di Kota Pangkalpinang. Meski begitu, untuk mendapatkan informasi yang lebih baik dan mendalam, guru-guru dan pengelola yang dimaksud adalah yang memiliki pengalaman mengajar/menjadi pengelola di sekolah setidaknya selama tiga tahun. Penetapan batasan minimal ini didasarkan pada asumsi bahwa guru/pengelola tersebut memiliki pengalaman terkait pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah ataupun kegiatan lain yang terkait.
Pengumpulan data mengacu pada Creswell (2014: 212-216), yakni metode wawancara semi-terstruktur, observasi terstruktur, studi dokumen, dan bahan audio-visual. Wawancara semi-terstruktur dilakukan dengan guru-guru dan pengelola SMP dan SMA yang telah ditetapkan sebagai subjek penelitian. Tujuannya untuk mendapatkan data tentang pengalaman mereka terkait pendidikan karakter dan upaya di luar pembelajaran yang sudah mereka lakukan. Untuk memperkuat hasil wawancara, dilakukan observasi terstruktur terhadap proses pembelajaran di kelas dan dinamika di sekolah. Kemudian digunakan juga dokumen-dokumen pendukung yang terkait dengan permasalahan penelitian.
Selanjutnya, hasil dari ketiga metode ini diperdalam melalui sebuah focus group discussion (FGD) untuk mengidentifikasi tema-tema spesifik. Dari hasil inilah dilakukan content analysis tematik menggunakan pendekatan hierarkis dengan tiga kategori utama terkait pertanyaan penelitian (model taksonomi sebagai dasar untuk proses pengkodean).
Dalam pengumpulkan data, selain peneliti sebagai key instrument, digunakan juga beberapa instrumen lain berupa pedoman wawancara (semi-terstruktur), pedoman observasi (terstruktur), pedoman FGD, dan lembar check-list. Sebelum digunakan, pedoman wawancara dan FGD dikonsultasikan terlebih dahulu kepada pembimbing ataupun pakar agar dapat menjadi instrumen yang baik dan valid.
Sebagaimana dinyatakan Creswell (2014: 224-226) bahwa validasi dalam penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian kuantitatif. Dalam penelitian kualitatif, validasi dilakukan di setiap langkah dalam proses penelitian, melalui prosedur tertentu. Validitas dilakukan terhadap temuan, yakni dengan cara memeriksa keakuratan/kepercayaan/keaslian/kredibilitas temuan berdasarkan sudut pandang peneliti, subjek penelitian, ataupun pihak lain yang terkait. Sedangkan reliabilitas merujuk pada konsistensi pendekatan yang digunakan oleh peneliti.
Untuk memvalidasi temuan, dilakukan triangulasi, baik antarsubjek, antarinstrumen, maupun dengan auditor eksternal. Sedangkan untuk mengecek reliabilitas pendekatan, digunakan pedoman prosedur yang lengkap dan rinci, sehingga bisa diketahui dan diikuti oleh siapa pun. Dalam pelaksanaannya, dilakukan perekaman terhadap proses tersebut, baik berupa audio, visual, maupun audio-visual, serta catatan lapangan (field-notes). Adapun yang perlu diperiksa terkait reliabilitas adalah transkrip wawancara serta kode dan definisinya.
Oleh karena dalam penelitian kualitatif berlaku generalisasi terbatas, maka hasil temuan hanya berlaku di wilayah penelitian. Generalisasi lebih luas bisa dilakukan ketika dilakukan kajian serupa di wilayah lain bersadarkan prosedur yang sama (Lihat juga Denzin & Lincoln 2011; Gibbs 2007; Yin 2003; Creswell & Miller 2000).
Mengingat bahwa penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, maka analisis dilakukan berbarengan dengan proses pengumpulan data. Teknik analisis yang digunakan mengacu pada Creswell (2014: 220-223), sebagaimana dalam gambar berikut:

Gambar 3. Analisis Data dalam Penelitian Kualitatif (Creswell 2014: 220)

Berikut penjelasannya.
1.   Pengorganisasian dan persiapan pengolahan data, berupa mentranskripsi hasil wawancara, mengetik catatan lapangan, menyusun dokumen, mengurutkan dan mengatur data sesuai dengan sumber.
2.  Membaca keseluruhan data secara mendalam, dengan tujuan mendapatkan pemahaman tentang ide dan makna dari pernyataan subjek penelitian, termasuk kredibilitas dari informasi tersebut. Untuk itu, dibuat catatan-catatan khusus di setiap transkrip. 
3.   Koding, yakni memberi kode atau label pada setiap data yang didapatkan, sesuai dengan kategori dan jenisnya. Proses analisis dimulai dengan koding terbuka dan menjelang akhir, pendekatan aksial digunakan untuk membangun koneksi antartema. Untuk transformasi, akan dicari hubungan sebab-akibat (kausaitas).
Catatan pengkodean dalam wawancara juga akan ditinjau beberapa kali untuk memungkinkan koreksi kategorisasi untuk mencapai stabilitas dan keandalan pengkodean.
4.   Kategorisasi data. Hasil pengkodean data digunakan untuk membuat kategori atau tema berdasarkan temuan lapangan. Artinya, informasi atau data yang sama akan dikelompokkan ke dalam kategori atau tema yang mewakili.
5.    Penyajian data secara naratif. Temuan-temuan yang sudah dikategorisasi berupa tema ataupun subtema, disajikan dalam bentuk narasi deskriptif. Selain itu, tampilan data yang disajikan juga dapat berupa tabel dan gambar.
6.     Interpretasi. Di sini, peneliti perlu menjawab pertanyaan “pelajaran apa yang bisa dipetik dari hasil penelitian” dan menangkap esensinya. Temuan yang didapat dari lapangan dibandingkan juga dengan temuan lain dan teori.
Selanjutnya, berdasarkan hasil analisis, ditulis laporan secara deskriptif terperinci sesuai dengan ketentuan dari lembaga. Secara umum, penulisan laporan mengacu pada Creswell (2014: 193-194) sebagai berikut:
1.         Menggunakan tanda kutip dan mengatur variasi panjang-pendeknya kutipan.
2.   Ungkapan dalam bahasa daerah tetap ditulis dan diberikan keterangan dalam Bahasa Indonesia.
3.      Menggunakan kata-kata dari subjek untuk membentuk kode atau label tema dan menjalinkan kutipan dengan interpretasi peneliti.
4.    Menggunakan kata ganti yang tepat untuk menunjukkan subjek sebagai orang pertama, kedua, atau ketiga dan tunggal atau kolektif.
5.         Menggunakan metafora dan uraian rinci.
6.         Membandingkan hasil naratif dengan literatur ataupun teori.


Daftar Pustaka
Assegaf, Abd. Rahman. 2004. Pendidikan tanpa kekerasan: tipologi kondisi, kasus dan konsep. Yogyakarta: Tiara Wacana
Camara, Dom Helder. 2000. Spiral kekerasan (pen. Komunitas Apiru). Yogyakarta: INSIST-Pustaka Pelajar
Chaer, Moh. Toriqul. 2016. “Islam dan pendidikan cinta damai”, ISTAWA: Jurnal Pendidikan Islam Volume 2, Nomor 1
Chandra, Robby I. 1992. Konflik dalam kehidupan sehari-hari. Yogyakarta: Kanisius
Creswell, John W. 2014. Research design: qualitative, quantitative, and mixed method approaches 4th Ed. California: SAGE Publications Inc.
Creswell, Joh. W. & Dana L. Miller. 2000. “Determining validity in qualitative inquiry”, Theory in practice, 39(3), 124-130
Daniprawiro, Mulyono. 2009. “Mendorong terciptanya pendidikan damai”, dalam Gemari Edisi 97/Tahun X/2009
 Denzin, Normak K. & Yvonna S. Lincoln (Eds.). 2005. The sage handbook of qualitative research 3rd Ed. California: SAGE Publication Inc.
Gibbs, Graham R. 2007. Analyzing qualitative data. London: SAGE Publication Ltd.
Jones, Tricia S. 2004. “Conflict Resolution Education: The Field, the Findings, and the Future. Conflict Resolution Quarterly, Vol. 22, No. 1–2
Kartadinata, Sunaryo, dkk. “Meta analisis kandungan nilai lokal dalam pengembangan pedagogik kedamaian: telaah atas studi etnopedagogik dalam perspektif Indonesia-Finlandia”, Laporan Penelitian. Universitas Pendidika Indonesia
----------. 2015. Pendidikan kedamaian. Bandung: Remaja Rosdakarya
Marsigit. 2019. “Diskusi tugas mata kuliah filsafat penelitian dan evaluasi pendidikan”
----------. https://powermathematics.blogspot.com
Miall, Hugh. 2000. Resolusi damai konflik kontemporer: menyelesaikan, mencegah, melola dan mengubah konflik bersumber politik, sosial, agama dan ras.  (terjemahan) Jakarta: RajaGrafindo Persada
Mulyasa, E. 2018. Manajemen pendidikan karakter. Jakarta: Bumi Aksara (Cet. Ke-6)
Mulyatno, C.B. 2012. Filsafat perdamaian: menjadi bijak bersama Eric Weil. Yogyakarta: Kanisius
Rozi, Syafuan, dkk. 2006. Kekerasan komunasl: anatomi dan resolusi konflik di Indonesia. Yogayakarta: Pustaka Pelajar
Samani, Muchlas dan Hariyanto. 2017. Pendidikan karakter: konsep dan model. Bandung: Remaja Rosdakarya (Cet. Ke-6)
Sukendar. 2011. Pendidikan damai (peace education) bagi anak-anak korban konflik”, dalam Jurnal Walisongo Volume 19, Nomor 2, Tahun 2011
Syahputra, Iswandi. 2019. “Hoax dan spiral kebencian di media sosial,” Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Yin, Robert K. Case study research: design and method. California: SAGE Publication Inc.



[1] Kasus-kasus tindakan kekerasan di sekolah pernah diteliti oleh Abd. Rahman Assegaf melalui kajian sumber sekunder guna menjajaki upaya pengembangan pendidikan tanpa kekerasan dalam perspektif pendidikan Islam (2004).
[2] Perjuangan perdamaian merupakan perhatian serius bagi salah satu filsuf kelahiran Jerman bernama Eric Weil. Sebagai filsuf, ia konsisten mengusung perjuangan hidup damai sebab menurutnya, memperjuangkan peradaban yang manusiawi merupakan tindakan kenabian seorang filsuf di tengah kehidupan yang diwarnai dengan berbagai konflik dan kekerasan. Ia kemudian mengembangkan filsafat perdamaian karena menurutnya, berfilsafat merupakan wujud perlawanan rasional dan damai terhadap kekerasan, selain melalui pendidikan. Lihat Mulyatno (2012).
[3] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (daring), kata persepsi memiliki dua pengertian, yakni “(n) tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu; serapan: dan (n) proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancaindranya.”. Sementara dalam Merriam-Webster Dictionary (daring), dinyatakan bahwa persepsi merupakan noun yang diartikan sebagai (a) “a result of perceiving: observation; (b) a mental image; concept; (c) obsolete: consciousness; (d) awareness of the elements of environment through physical sensation: color perception; (e) physical sensation interpreted in the light of experience; (f) quick, acute, and intuitive cognition: appreciation; (g) a capacity for comprehension.” Adapun persepsi dalam konteks filsafat dapat dilihat dalam tulisan Prof. Marsigit dalam https://powermathematics.blogspot.com.
[4] Dalam kajiannya, Syahputra (2019) mengungkap bahwa di era teknologi informasi sekarang ini, banyak terjadi gesekan dikarenakan hoax dan ujaran kebencian yang marak beredar di dunia maya, terutama media sosial, dengan latar belakang tujuan yang beragam, bahkan ada yang disebarkan secara tersistematis.
[5] Dalam banyak kasus, konflik disebabkan oleh intoleransi, kemudian berkembang menjadi radikalisme, dan tidak sedikit yang akhirnya menjadi aksi teorisme. Hal ini juga beberapa kali dinyatakan oleh Prof. Marsigit di beberapa pertemuan di ruang kuliah. Lihat juga tulisan Prof. Marsigit tetang intoleransi dan radikalisme dalam https://powermathematics.blogspot.com..
[6] Samuel P. Huntington pernah menggegerkan dunia akademik dengan bukunya yang berjudul Clash of Civilization (1993). Huntington menyebut bahwa konflik yang marak terjadi pasca-Perang Dingin diakibatkan perbedaan dalam hal budaya dan agama. Ia menempatkan Islam sebagai musuh Barat (non-Islam) sehingga memunculkan stereotip bahwa Islam itu buruk dan Barat adalah baik. Pernyataan ini lantas memunculkan perdebatan dan cenderung membuka konflik dan kecurigaan baru (negara-negara Muslim terhadap Barat). Teori ini lantas dibantah oleh berbagai cendekiawan Muslim karena dinilai tidak memiliki dasar yang kuat dan berangkat dari keterbatasan pengetahuan Huntington tentang Islam, bahkan dianggap merupakan propaganda Barat (Lihat Kartadinata, dkk. 2015: 3-4).
[7] Pembelajaran berasal dari kata dasar “belajar”. Kata belajar ini tidak bisa lagi dimaknai secara konvensional sebagai proses yang pasif, melainkan mesti dimaknai secara aktif dan konstrukstif, yakni membangun. Pengertian “belajar” adalah “membangun” ini dinyatakan oleh Prof. Marsigit dalam salah satu perkuliahan dan di berbagai kesempatan lain, baik pertemuan maupun yang ditampilkan di media daring, termasuk dalam https://powermathematics.blogspot.com..
[8] Sikap nirkekerasan dinilai berangkat dari filosofi pasivisme. Banyak tokoh yang membangun gerakan nirkekerasan, di antaranya: Eric Weil yang mengembangkan filsafat perdamaian sebagai perlawanan terhadap kekerasan, Mohandas Karamchad Gandhi yang dikenal dengan gerakan Ahimsa, Martin Luther King yang memperjuangkan hak-hak warga negara Amerika berkulit hitam (Afro-Amerika), Dom Helder Camara yang memperjuangkan hak-hak masyarakat miskin melawan tejim otoritarian Brasil, Nelson Mandela yang memperjuangkan penghapusan sistem Apartheid di Afrika Selatan, Chaiwat Satha Anand yang hingga kini masih terus menyuarakan gerakan nirkekerasan, dan banyak tokoh lainnya.
[9] Mengenai pendidikan karakter, bisa dilihat misalnya Mulyasa (2018) dan Samani & Hariyanto (2017).


#Marsigit2019 Philosophy - M. Ikhsan Ghozali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tugas UAS Filsafat

PEMBUDAYAAN PRAKTIK BAIK SIKAP NIRKEKERASAN MELALUI PENDIDIKAN PERDAMAIAN DAN RESOLUSI KONFLIK DI SEKOLAH Tugas Mata Kuliah Fils...