PEMBUDAYAAN PRAKTIK BAIK SIKAP NIRKEKERASAN MELALUI PENDIDIKAN PERDAMAIAN DAN RESOLUSI
KONFLIK DI SEKOLAH
Tugas Mata Kuliah Filsafat Penelitian dan
Evaluasi Pendidikan
Dosen
Pengampu:
Prof.
Dr. Marsigit, M.A.
Oleh:
M.
Ikhsan Ghozali
NIM. 19701261003
PROGRAM STUDI PENELITIAN DAN EVALUASI
PENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2019
Instruksi Tugas
1.
Identifikasi
persoalan filsafat pada pembelajaran … di sekolah (relevan dengan PEP) –
minimal 15.
2.
Kontribusi
butir (1) terhadap identifikasi persoalan rencana penelitian disertasi (minimal
5 judul)
3. Ambil
satu dari butir (2), kemudian tulislah (minimal terdiri dari): Judul, Latar
Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Metodologi Penelitian
1. Hingga
saat ini, tindak-kekerasan masih kerap terjadi di tanah air. Hal ini
kontradiktif dengan karakter bangsa Indonesia yang meskipun majemuk tapi
dikenal ramah, saling menghargai dan menghormati, suka bergotong royong, serta menjunjung tinggi nilai-nilai moral, agama, dan
kemanusiaan. Ironisnya, lembaga pendidikan, termasuk
sekolah, yang diharapkan mampu menjadi media pembangunan manusia, ternyata tak
lepas dari fenomena ini. Berbagai kasus kekerasan kerap terjadi di sekolah,
bahkan tak sedikit yang akhirnya berujung pada ranah hukum.[1]
Padahal sekolah,
sebagaimana tujuan dan fungsi pendidikan nasional, diharapkan mampu menjadi
media pembangunan manusia memiliki watak dan peradaban bangsa yang bermartabat
dan cerdas.
Berikut ini beberapa permasalahan
yang dapat diidentifikasi terkait dengan hal tersebut.
(1) Maraknya kasus bullying di sekolah.
(2) Tingginya rivalitas atau kompetisi di
antara siswa.
(3) Adanya sikap saling curiga yang berlebihan.
(4) Kurangnya sikap saling menghargai dan
saling menerima perbedaan.
(5) Kurangnya sikap saling menerima
(6) Kesalahan dalam mengartikan dan menyikapi konflik
(7) Kesalahan dalam mengartikan dan menyikapi kekerasan
(8) Rendahnya kemampuan beradaptasi.
(9) Kurangnya perhatian terhadap aspek afektif
sehingga proses humanisasi berkurang.
(10) Penerapan hukuman (terutama fisik)
terhadap pelanggaran yang melebihi batas.
(11) Kedamaian dimaknai semata-mata produk .
(12) Kekerasan dimaknai semata-mata akibat atau
dampak.
(13) Kesalahan persepsi mengenai hubungan.
(14) Pembelajaran mengenai konflik, kekerasan,
resolusi konfik, dan nirkekerasan belum terintegrasi dan lebih cenderung
bersifat teoretis.
(15) Kurangnya penghargaan terhadap nilai-nilai
kemanusiaan.
(16) Kurangnya pengalaman interaksi dan bekerja
sama.
(17) Kearifan-kearifan lokal belum menjadi
pertimbangan serius dalam pembelajaran.
(18) Pembelajaran tentang perdamaian cenderung
dipersempit semata toleransi.
(19) Pendidikan karakter belum sepenuhnya dilaksanakan.
(20) Pendidikan karakter belum mengintegrasikan pendidikan
perdamaian dan resolusi konflik di dalamnya.
2.
Rancangan
judul rencana penelitian
Beberapa
permasalahan yang telah diidentifikasi menunjukkan bahwasanya ada banyak
permasalahan tindak-kekerasan di lembaga pendidikan dan upaya pendidikan
perdamaian, baik melalui pendidikan karakter maupun pendidikan khusus, belum
menunjukkan hasil yang sesuai harapan. Padahal, tujuan pendidikan nasional dan
amanat dari UUD 1945 menegaskan bahwasanya perdamaian adalah hal yang hakiki
dan harus diciptakan, maka perlu dilakukan berbagai upaya strategis yang
relevan, salah satnya melalui penelitian Sehubungan dengan hal tersebut, dari beberapa
permasalahan tersebut dapat dirumuskan beberapa judul peneitian berikut:
(1) Pembudayaan praktik baik
sikap nirkekerasan melalui pendidikan perdamaian dan resolusi konflik di sekolah.
(2) Pengembangan skala sikap terhadap nirkekerasan.
(3) Pendidikan perdamaian dan resolusi konflik
berbasis kearifan lokal.
(4) Integralisasi pendidikan nirkekerasan
dalam pendidikan karakter.
(5) Internalisasi sikap nirkekerasan dalam
pendidikan karakter.
3.
Rancangan
Dari lima rumusan
judul di atas, dalam hal ini ditetapkan satu judul yang dapat ditindaklanjuti
dalam sebuah rancangan sederhana sebagai berikut:
Judul
Pembudayaan Praktik
Baik Sikap Nirkekerasan Melalui Pendidikan Perdamaian dan Resolusi Konflik di Sekolah
Latar belakang
Damai adalah kondisi
hidup ideal yang diharapkan oleh setiap manusia. Kondisi
ini memungkinkan manusia bisa hidup dengan tenang, aman, sejahtera, bebas
dari tekanan atau gangguan, dan hubungan antarsesama (pribadi/kelompok) berlangsung dengan baik.[2]
Namun, keadaan semacam ini seolah utopis sebab sulit terwujud sepenuhnya, salah
satu penyebabnya adalah konflik (dengan kekerasan).
Konflik merupakan
hal alamiah (instrinsik) terjadi dalam dinamika sosial (Miall
2000: 7) sehingga wajar jika menjadi fenomena
yang selalu hadir dalam setiap masyarakat manusia (Rozi, dkk. 2006: 5). Konflik muncul sebagai salah satu
konsekuensi hidup manusia sebagai
makhluk sosial yang saling berinteraksi. Dalam interaksinya, tidak jarang terjadi gesekan akibat adanya perbedaan
(kepentingan, nilai, keyakinan, persepsi[3])
lalu menjadi konfik.[4]
Konflik awalnya
bersifat laten, namun ia bisa menjadi manifest melalui tindakan dalam merespon gesekan tersebut. Hal ini dikarenakan masing-masing secara potensial memiliki kemampuan untuk
menghambat dan secara praktis/operasional mewujudkannya (Chandra 1992: 20).
Sebagai negara yang masyarakatnya majemuk, terdiri dari
sub-sub yang memiliki ikatan primordial (Chaer 2016), Indonesia merupakan
negara yang rawan konflik, baik konflik sosial, ekonomi, politik, budaya,
maupun agama. Sejarah
pun telah mencatat berbagai peristiwa konflik, baik secara horisontal
(antarmasyarakat) maupun vertikal (masyarakat dengan negara). Ketika tindakan dengan kekerasan menjadi respon terhadap
konflik, maka dampak negatif yang merugikan pun muncul (jatuhnya korban jiwa,
kehilangan harta, tempat tinggal, dan lain-lain).[5]
Respon dan sikap
dalam menghadapi konflik dengan kekerasan sangat menentukan, sebab jika tidak, akan terjadi apa yang disebut oleh Dom Helder Camara
(1909-1999) dalam Spiral of Violence,
suatu tindak-kekerasan akan melahirkan tindak-kekerasan baru (Camara 2000). Hal
ini tentunya menjadi kontraproduktif bagi kedamaian. Salah satu penyebab utama
terjadinya konflik dengan kekerasan adalah keterbatasan pengetahuan tentang
hakikat perbedaan (pikiran, identitas budaya, keyakinan, dan sebagainya) dan
cara menghadapinya.[6]
Sekolah, sebagai
institusi pendidikan, berperan penting dalam menanamkan nilai-nilai etis
perdamaian dan nirkekerasan melalui pembelajaran praktis. Tujuannya adalah
untuk membentuk kesadaran, pemahaman, dan perilaku siswa menjadi manusia yang
mampu menciptakan kehidupan yang damai, sebagaimana salah satu pilar
pendidikan, yakni learning how to live
together in harmony. Pentingnya pendidikan perdamaian dan resolusi konflik
di sekolah dikarenakan sekolah merupakan pusat pembelajaran[7]
sekaligus pusat kehidupan sosial siswa, yang
beragam jenis kelamin, usia, etnis, agama, tingkat ekonomi keluarga, kemampuan,
dan sebagainya. Perbedaan inilah yang dinilai menjadi lahan subur bagi tumbuh
dan berkembangnya konflik. Maka, melalui pendidikan perdamaian dan resolusi
konflik, siswa memiliki kesadaran dan sikap nirkekerasan[8]
dalam merespon konflik sehingga dapat tercipta kehidupan yang damai (Jones
2004; Miall 2000)
Secara global,
pendidikan perdamaian merupakan kesepakatan dunia internasional yang dimotori
oleh Unesco dan sudah diselenggarakan di berbagai negara, begitu pun di
Indonesia. Kartadinata, dkk. (2015: 61-62) menyebut setidaknya ada empat
pertimbangan atau alasan pentingnya pendidikan perdamaian dilakukan di sekolah,
yakni: (1) kemajemukan bangsa Indonesia; (2) dapat menjadi media alternatif
pemulihan trauma (trauma healing)
akibat konflik-kekerasan yang paling efektif; (3) proses penting bagi siswa
untuk mampu membangun budaya damai dan sikap nirkekerasan; (4) siswa sebagai
pemuda adalah tulang punggung pembangunan bangsa. Oleh karenanya, pendidikan
perdamaian mesti dilihat dari perspektif sosial dan budaya sebab pendidikan
merupakan bagian dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat.
Masih
menurut Kartadinata, dkk. (hlm. 69, 104-105), ada tiga aspek atau domain yang
tercakup dalam pendidikan perdamaian, yakni pengetahuan, keterampilan, dan
sikap, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Pelaksanaannya perlu
memerhatikan: (1) tujuan; (2) materi; (3) metode dan strategi pembelajaran; (4)
media pembelajaran; dan (5) evaluasi pembelajaran. Hal ini dikarenakan
pendidikan perdamaian tidak hanya mengajarkan siswa untuk mampu berpikir (think)
melainkan juga mampu berpikir kritis (think critically). Maka, perlu
dilakukan pendekatan holistik dan partisipatoris dengan suasana dialogis dan
melibatkan proses psikologis siswa (hlm. 106).
Pendidikan
perdamaian tidak harus dilaksanakan secara terpisah, melainkan dapat
mengintegrasikannya dalam pendidikan karater yang di dalamnya terkandung
nilai-nilai pendidikan perdamaian.[9] Meski begitu, selain belum banyak
sekolah yang mengintegrasikan pendidikan perdamaian dan pendidikan karakter,
sekolah yang melaksanakan keduanya secara terpisah pun belum banyak. Beberapa kajian tentang kekerasan dan pendidikan perdamaian ini
pernah dilakukan. Misalnya, Assegaf (2004), mengungkap tipologi kondisi dan
kasus kekerasan di lembaga pendidikan, kemudian menawarkan konsep pendidikan
tanpa kekerasan dalam perspektif pendidikan Islam. Daniprawiro (2009), mengulas
pentingnya mendorong terciptanya pendidikan damai. Sukendar (2011), mengkaji
pendidikan damai bagi anak korban konflik. Kartadinata dkk (2014),
membandingkan etnopedagogik di Indonesia dengan Finlandia.
Sehubungan
dengan hal tersebut, kajian ini mencoba untuk mengungkap hal-hal mendasar yang
terkait dengan implementasi pendidikan perdamaian dan resolusi konflik dalam
rangka membangun praktik baik sikap nirkekerasan,
baik terintegrasi maupun tersendiri. Terintegrasi berarti pelaksanaannya menyatu dalam pendidikan
karakter yang digalakkan pemerintah. Sedangkan tersendiri berarti
pelaksanaannya terpisah. Untuk itulah, akan dilihat juga prospek terbaik dari
keduanya untuk nantinya diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan dalam upaya
pembudayaan sikap nirkekerasan dalam lingkungan pendidikan.
Rumusan masalah
1) Dari
berbagai upaya yang pernah dilakukan, apa kendala utama dalam mengintegrasikan pendidikan
perdamaian dan resolusi konflik dalam
pendidikan karakter di sekolah?
2) Kondisi-kondisi
apa saja yang dibutuhkan untuk membudayakan praktik baik sikap nirkekerasan melalui
pendidikan perdamaian dan resolusi konflik di
sekolah?
3) Bagaimana
strategi pengembangan pendidikan perdamaian dan resolusi konflik dalam
menghadapi tantangan era power now?
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
metode deskriptif-eksploratoris. Penggunaan metode dan pendekatan ini mengacu
pada tujuan penelitian yang mencoba mengungkap persoalan pembudayaan sikap
nirkekerasan di sekolah secara lebih intensif dan ekstensif,
berdasarkan idealita dan realitanya.
Sebagaimana permasalahan penelitian, yang menjadi subjek
adalah guru-guru serta pengelola SMP dan SMA di Kota Pangkalpinang. Meski begitu, untuk
mendapatkan informasi yang lebih baik dan mendalam, guru-guru dan pengelola yang
dimaksud adalah yang memiliki pengalaman mengajar/menjadi pengelola di sekolah setidaknya
selama tiga tahun. Penetapan batasan minimal ini didasarkan pada asumsi bahwa guru/pengelola
tersebut memiliki pengalaman terkait
pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah ataupun kegiatan lain yang terkait.
Pengumpulan
data mengacu pada Creswell (2014: 212-216), yakni metode wawancara semi-terstruktur, observasi terstruktur, studi dokumen,
dan bahan audio-visual. Wawancara semi-terstruktur dilakukan dengan guru-guru dan
pengelola SMP dan SMA yang telah ditetapkan
sebagai subjek penelitian. Tujuannya untuk mendapatkan data tentang pengalaman
mereka terkait pendidikan karakter dan
upaya di luar pembelajaran yang sudah mereka lakukan. Untuk memperkuat hasil
wawancara, dilakukan observasi terstruktur terhadap proses pembelajaran di
kelas dan dinamika di sekolah. Kemudian digunakan juga dokumen-dokumen pendukung yang
terkait dengan permasalahan penelitian.
Selanjutnya, hasil dari ketiga metode ini diperdalam
melalui sebuah focus group discussion
(FGD) untuk mengidentifikasi tema-tema spesifik. Dari hasil inilah dilakukan content analysis tematik menggunakan
pendekatan hierarkis dengan tiga kategori utama terkait pertanyaan
penelitian (model taksonomi sebagai
dasar untuk proses pengkodean).
Dalam
pengumpulkan data, selain peneliti sebagai key
instrument, digunakan juga beberapa instrumen lain berupa pedoman wawancara
(semi-terstruktur), pedoman observasi (terstruktur), pedoman FGD, dan lembar check-list. Sebelum digunakan, pedoman
wawancara dan FGD dikonsultasikan terlebih dahulu kepada pembimbing ataupun
pakar agar dapat menjadi instrumen yang baik dan valid.
Sebagaimana
dinyatakan Creswell (2014: 224-226) bahwa validasi dalam penelitian kualitatif
berbeda dengan penelitian kuantitatif. Dalam penelitian kualitatif, validasi
dilakukan di setiap langkah dalam proses penelitian, melalui prosedur tertentu.
Validitas dilakukan terhadap temuan, yakni dengan cara memeriksa
keakuratan/kepercayaan/keaslian/kredibilitas temuan berdasarkan sudut pandang
peneliti, subjek penelitian, ataupun pihak lain yang terkait. Sedangkan
reliabilitas merujuk pada konsistensi pendekatan yang digunakan oleh peneliti.
Untuk
memvalidasi temuan, dilakukan triangulasi, baik antarsubjek, antarinstrumen,
maupun dengan auditor eksternal. Sedangkan untuk mengecek reliabilitas
pendekatan, digunakan pedoman prosedur yang lengkap dan rinci, sehingga bisa
diketahui dan diikuti oleh siapa pun. Dalam pelaksanaannya, dilakukan perekaman
terhadap proses tersebut, baik berupa audio, visual, maupun audio-visual,
serta catatan lapangan (field-notes). Adapun yang perlu diperiksa terkait
reliabilitas adalah transkrip wawancara serta kode dan definisinya.
Oleh
karena dalam penelitian kualitatif berlaku generalisasi terbatas, maka hasil
temuan hanya berlaku di wilayah penelitian. Generalisasi lebih luas bisa
dilakukan ketika dilakukan kajian serupa di wilayah lain bersadarkan prosedur
yang sama (Lihat juga Denzin & Lincoln 2011; Gibbs 2007; Yin 2003; Creswell
& Miller 2000).
Mengingat bahwa penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif, maka analisis dilakukan berbarengan dengan proses pengumpulan data.
Teknik analisis yang digunakan mengacu pada Creswell (2014: 220-223), sebagaimana
dalam gambar berikut:
Gambar
3. Analisis Data dalam
Penelitian Kualitatif (Creswell 2014: 220)
Berikut penjelasannya.
1. Pengorganisasian dan
persiapan pengolahan data, berupa mentranskripsi hasil wawancara, mengetik
catatan lapangan, menyusun dokumen, mengurutkan dan mengatur data sesuai dengan
sumber.
2. Membaca keseluruhan
data secara mendalam, dengan tujuan mendapatkan pemahaman tentang ide dan makna
dari pernyataan subjek penelitian, termasuk kredibilitas dari informasi
tersebut. Untuk itu, dibuat catatan-catatan khusus di setiap transkrip.
3. Koding, yakni memberi
kode atau label pada setiap data yang didapatkan, sesuai dengan kategori dan
jenisnya. Proses analisis dimulai dengan
koding terbuka dan menjelang akhir, pendekatan aksial digunakan untuk membangun
koneksi antartema. Untuk transformasi, akan dicari hubungan sebab-akibat (kausaitas).
Catatan
pengkodean dalam wawancara juga akan ditinjau beberapa kali untuk memungkinkan
koreksi kategorisasi untuk mencapai stabilitas dan keandalan pengkodean.
4. Kategorisasi data.
Hasil pengkodean data digunakan untuk membuat kategori atau tema berdasarkan
temuan lapangan. Artinya, informasi atau data yang sama akan dikelompokkan ke
dalam kategori atau tema yang mewakili.
5. Penyajian data secara
naratif. Temuan-temuan yang sudah dikategorisasi berupa tema ataupun subtema,
disajikan dalam bentuk narasi deskriptif. Selain itu, tampilan data yang
disajikan juga dapat berupa tabel dan gambar.
6. Interpretasi. Di
sini, peneliti perlu menjawab pertanyaan “pelajaran apa yang bisa dipetik dari
hasil penelitian” dan menangkap esensinya. Temuan yang didapat dari lapangan
dibandingkan juga dengan temuan lain dan teori.
Selanjutnya, berdasarkan hasil
analisis, ditulis laporan secara deskriptif terperinci sesuai dengan ketentuan
dari lembaga. Secara umum, penulisan laporan mengacu pada Creswell (2014:
193-194) sebagai berikut:
1.
Menggunakan
tanda kutip dan mengatur variasi panjang-pendeknya kutipan.
2. Ungkapan
dalam bahasa daerah tetap ditulis dan diberikan keterangan dalam Bahasa
Indonesia.
3. Menggunakan
kata-kata dari subjek untuk membentuk kode atau label tema dan menjalinkan
kutipan dengan interpretasi peneliti.
4. Menggunakan
kata ganti yang tepat untuk menunjukkan subjek sebagai orang pertama, kedua,
atau ketiga dan tunggal atau kolektif.
5.
Menggunakan
metafora dan uraian rinci.
6.
Membandingkan
hasil naratif dengan literatur ataupun teori.
Daftar Pustaka
Assegaf,
Abd. Rahman. 2004. Pendidikan tanpa
kekerasan: tipologi kondisi, kasus dan konsep. Yogyakarta: Tiara Wacana
Camara,
Dom Helder. 2000. Spiral kekerasan
(pen. Komunitas Apiru). Yogyakarta: INSIST-Pustaka Pelajar
Chaer,
Moh. Toriqul. 2016. “Islam dan pendidikan cinta damai”, ISTAWA: Jurnal Pendidikan Islam Volume 2, Nomor 1
Chandra,
Robby I. 1992. Konflik dalam kehidupan
sehari-hari. Yogyakarta: Kanisius
Creswell,
John W. 2014. Research design:
qualitative, quantitative, and mixed method approaches 4th Ed.
California: SAGE Publications Inc.
Creswell,
Joh. W. & Dana L. Miller. 2000. “Determining validity in qualitative
inquiry”, Theory in practice, 39(3),
124-130
Daniprawiro,
Mulyono. 2009. “Mendorong terciptanya pendidikan damai”, dalam Gemari
Edisi 97/Tahun X/2009
Gibbs, Graham R. 2007. Analyzing qualitative data. London: SAGE
Publication Ltd.
Jones,
Tricia S. 2004. “Conflict Resolution Education: The Field, the Findings, and the
Future. Conflict Resolution Quarterly,
Vol. 22, No. 1–2
Kartadinata,
Sunaryo, dkk. “Meta analisis kandungan nilai lokal dalam pengembangan pedagogik
kedamaian: telaah atas studi etnopedagogik dalam perspektif
Indonesia-Finlandia”, Laporan Penelitian. Universitas Pendidika
Indonesia
----------.
2015. Pendidikan kedamaian. Bandung:
Remaja Rosdakarya
Marsigit.
2019. “Diskusi tugas mata kuliah filsafat penelitian dan evaluasi pendidikan”
----------.
https://powermathematics.blogspot.com
Miall,
Hugh. 2000. Resolusi damai konflik
kontemporer: menyelesaikan, mencegah, melola dan mengubah konflik bersumber
politik, sosial, agama dan ras. (terjemahan)
Jakarta: RajaGrafindo Persada
Mulyasa,
E. 2018. Manajemen pendidikan karakter.
Jakarta: Bumi Aksara (Cet. Ke-6)
Mulyatno,
C.B. 2012. Filsafat perdamaian: menjadi
bijak bersama Eric Weil. Yogyakarta: Kanisius
Rozi,
Syafuan, dkk. 2006. Kekerasan komunasl: anatomi dan resolusi konflik di
Indonesia. Yogayakarta: Pustaka Pelajar
Samani,
Muchlas dan Hariyanto. 2017. Pendidikan
karakter: konsep dan model. Bandung: Remaja Rosdakarya (Cet. Ke-6)
Sukendar.
2011. Pendidikan damai (peace education) bagi anak-anak korban konflik”,
dalam Jurnal Walisongo Volume 19, Nomor 2, Tahun 2011
Syahputra,
Iswandi. 2019. “Hoax dan spiral kebencian di media sosial,” Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam
Bidang Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Yin,
Robert K. Case study research: design and
method. California: SAGE Publication Inc.
[1] Kasus-kasus
tindakan kekerasan di sekolah pernah diteliti oleh Abd. Rahman Assegaf melalui
kajian sumber sekunder guna menjajaki upaya pengembangan pendidikan tanpa kekerasan dalam
perspektif pendidikan Islam (2004).
[2] Perjuangan perdamaian merupakan
perhatian serius bagi salah satu filsuf kelahiran Jerman bernama Eric Weil.
Sebagai filsuf, ia konsisten mengusung perjuangan hidup damai sebab menurutnya,
memperjuangkan peradaban yang manusiawi merupakan tindakan kenabian seorang
filsuf di tengah kehidupan yang diwarnai dengan berbagai konflik dan kekerasan.
Ia kemudian mengembangkan filsafat perdamaian karena menurutnya, berfilsafat
merupakan wujud perlawanan rasional dan damai terhadap kekerasan, selain
melalui pendidikan. Lihat Mulyatno (2012).
[3] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (daring),
kata persepsi memiliki dua pengertian, yakni “(n) tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu; serapan: dan (n) proses
seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancaindranya.”. Sementara dalam Merriam-Webster Dictionary (daring),
dinyatakan bahwa persepsi merupakan noun
yang diartikan sebagai (a) “a result of
perceiving: observation; (b) a
mental image; concept; (c)
obsolete: consciousness; (d) awareness of the elements of environment
through physical sensation: color perception; (e) physical sensation interpreted in the light
of experience; (f) quick, acute, and
intuitive cognition: appreciation; (g) a capacity for comprehension.” Adapun persepsi dalam
konteks filsafat dapat dilihat dalam tulisan Prof. Marsigit
dalam https://powermathematics.blogspot.com.
[4] Dalam
kajiannya, Syahputra (2019) mengungkap bahwa di era teknologi informasi
sekarang ini, banyak terjadi gesekan dikarenakan hoax dan ujaran
kebencian yang marak beredar di dunia maya, terutama media sosial, dengan latar
belakang tujuan yang beragam, bahkan ada yang disebarkan secara tersistematis.
[5] Dalam banyak
kasus, konflik disebabkan oleh intoleransi, kemudian berkembang menjadi
radikalisme, dan tidak sedikit yang akhirnya menjadi aksi teorisme. Hal ini juga beberapa
kali dinyatakan oleh Prof. Marsigit di beberapa pertemuan di ruang kuliah.
Lihat juga tulisan Prof. Marsigit tetang intoleransi dan radikalisme dalam https://powermathematics.blogspot.com..
[6] Samuel P.
Huntington pernah menggegerkan dunia akademik dengan bukunya yang berjudul Clash of Civilization (1993). Huntington
menyebut bahwa konflik yang marak terjadi pasca-Perang Dingin diakibatkan
perbedaan dalam hal budaya dan agama. Ia menempatkan Islam sebagai musuh Barat
(non-Islam) sehingga memunculkan stereotip bahwa Islam itu buruk dan Barat
adalah baik. Pernyataan ini lantas memunculkan perdebatan dan cenderung membuka
konflik dan kecurigaan baru (negara-negara Muslim terhadap Barat). Teori ini
lantas dibantah oleh berbagai cendekiawan Muslim karena dinilai tidak memiliki
dasar yang kuat dan berangkat dari keterbatasan pengetahuan Huntington tentang
Islam, bahkan dianggap merupakan propaganda Barat (Lihat Kartadinata, dkk.
2015: 3-4).
[7] Pembelajaran
berasal dari kata dasar “belajar”. Kata belajar ini tidak bisa lagi dimaknai
secara konvensional sebagai proses yang pasif, melainkan mesti dimaknai secara
aktif dan konstrukstif, yakni membangun. Pengertian “belajar” adalah
“membangun” ini dinyatakan oleh Prof.
Marsigit dalam salah satu
perkuliahan dan
di berbagai kesempatan lain, baik pertemuan maupun yang ditampilkan di media
daring, termasuk dalam https://powermathematics.blogspot.com..
[8] Sikap
nirkekerasan dinilai berangkat dari filosofi pasivisme. Banyak tokoh yang
membangun gerakan nirkekerasan, di antaranya: Eric Weil yang mengembangkan
filsafat perdamaian sebagai perlawanan terhadap kekerasan, Mohandas Karamchad
Gandhi yang dikenal dengan gerakan Ahimsa, Martin Luther King yang
memperjuangkan hak-hak warga negara Amerika berkulit hitam (Afro-Amerika), Dom
Helder Camara yang memperjuangkan hak-hak masyarakat miskin melawan tejim
otoritarian Brasil, Nelson Mandela yang memperjuangkan penghapusan sistem Apartheid
di Afrika Selatan, Chaiwat Satha Anand yang hingga kini masih terus menyuarakan
gerakan nirkekerasan, dan banyak tokoh lainnya.
[9] Mengenai
pendidikan karakter, bisa dilihat misalnya Mulyasa (2018) dan Samani &
Hariyanto (2017).
#Marsigit2019 Philosophy - M. Ikhsan Ghozali



Tidak ada komentar:
Posting Komentar